Industri Farmasi dan Kosmetik Dipacu Kian Mandiri, Bahan Baku Jadi perhatian

$rows[judul] Keterangan Gambar : Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita

JAKARTA, konklusi.id – Indonesia boleh bangga karena 95 persen obat jadi yang beredar di dalam negeri telah diproduksi oleh industri nasional. Namun, di balik capaian itu, ada persoalan besar yang terus membayangi: ketergantungan pada bahan baku impor.

Sebanyak 85 persen kebutuhan farmasi nasional masih berasal dari luar negeri, terutama India dan Tiongkok. Ketergantungan ini membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga global, gangguan pasokan, bahkan gejolak geopolitik.

Kondisi tersebut mendorong Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk mengarahkan industrialisasi sektor farmasi dan kosmetik pada satu titik krusial: kemandirian bahan baku. Fokus itu kembali ditegaskan dalam gelaran Indonesia Pharmaceuticals and Cosmetics for Sustainability (IPCS) 2025 yang berlangsung di Jakarta, Rabu (12/11).

Acara yang menggabungkan pameran, seminar, temu usaha, dan workshop ini menjadi ruang konsolidasi antar pelaku industri, akademisi, dan pemerintah untuk menggenjot inovasi dan memperkuat struktur industri kesehatan nasional.

“Kita tidak boleh hanya menjadi pasar. Indonesia harus menjadi produsen utama produk kesehatan dan kecantikan berbasis inovasi,” tegas Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita. Ia menekankan bahwa Indonesia memiliki sumber daya alam melimpah untuk dikembangkan sebagai bahan baku obat dan kosmetik. “Untuk mematahkan dominasi India dan China, kita harus mengolah kekayaan alam kita sendiri,” lanjutnya.

Potensi itu bukan sekadar wacana. Menperin mencontohkan bahan aktif dari tanaman obat seperti meniran yang sudah menembus pasar Inggris, negara yang dikenal memiliki standar regulasi ketat. Menurutnya, capaian ini menjadi bukti bahwa kemampuan riset dan inovasi Indonesia mulai diakui secara global.

Didukung momentum industri kimia, farmasi, dan obat tradisional yang terus melaju, optimisme itu semakin menguat. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan sektor tersebut tumbuh 11,65 persen (year on year) pada triwulan III 2025—lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,04 persen. Investasinya menembus Rp65,9 triliun, sementara nilai ekspor mencapai USD 15,22 miliar.

Capaian itu mempertegas peran sektor manufaktur dalam perekonomian nasional. Industri pengolahan masih menjadi tulang punggung PDB dengan kontribusi 17,39 persen dan menyerap lebih dari 20 juta tenaga kerja. Menperin menilai, menjaga momentum pertumbuhan hanya bisa dilakukan dengan memperkuat rantai pasok dalam negeri, terutama untuk bahan baku farmasi dan kosmetik.

Pada saat yang sama, Kemenperin terus mendorong transformasi industri yang ramah lingkungan. Inisiatif industri hijau, efisiensi energi, hingga penerapan green chemistry menjadi bagian dari strategi besar menuju industri yang tidak hanya kompetitif, tetapi juga berkelanjutan. Tantangan lain yang sedang dipersiapkan adalah penerapan wajib Sertifikasi Halal pada Oktober 2026 bagi produk kosmetik dan obat bahan alam.

“Industri sekarang tidak hanya bicara soal efisiensi dan profit. Keberlanjutan menjadi budaya yang harus ditanamkan,” ujar Menperin.

Ia mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk memperkuat kolaborasi dalam membangun ekosistem industri farmasi dan kosmetik yang mandiri dan kompetitif. Kemandirian bahan baku, tegasnya, bukan hanya target industri, tetapi fondasi ketahanan kesehatan nasional. (uyu)

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)