JAKARTA, konklusi.id – Industri otomotif tengah memasuki fase penuh tantangan. Tekanan daya beli di pasar domestik dan ketidakpastian ekonomi global membuat kinerja penjualan kendaraan tak seagresif beberapa tahun terakhir. Kondisi itu tidak hanya menekan pabrikan besar, tetapi juga seluruh rantai pasok yang menyerap jutaan tenaga kerja.
Melihat urgensi tersebut, Kementerian
Perindustrian (Kemenperin) memilih mengambil langkah lebih progresif. Kemenperin
kini memfinalkan usulan skema insentif otomotif yang akan diajukan kepada
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebagai bagian dari paket kebijakan
fiskal 2026.
Insentif ini diproyeksikan menjadi
bantalan penting untuk menjaga stabilitas tenaga kerja sekaligus memperkuat
daya saing industri otomotif nasional. “Kami melihat sektor otomotif terlalu
penting untuk diabaikan. Multiplier effect-nya tinggi, dari hulu sampai hilir,
dan melibatkan tenaga kerja dalam jumlah besar,” tegas Menteri Perindustrian
Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Kamis (13/11).
Ia membandingkan rencana insentif ini
dengan kebijakan serupa yang pernah diberlakukan pada masa pandemi Covid-19.
Bedanya, kali ini fokusnya bukan memulihkan pasar semata, tetapi menjaga keberlanjutan
industri di tengah tekanan struktural.
Saat ini, tim Kemenperin tengah
menyusun desain insentif yang tepat sasaran baik dari sisi permintaan (demand
side) maupun sisi pasokan (supply side). Skema tersebut mencakup stimulus untuk
menjaga utilisasi pabrik, melindungi investasi, serta menahan potensi pemutusan
hubungan kerja (PHK) di industri otomotif.
“Harapan kami, adanya insentif 2026
dapat memberi perlindungan bagi tenaga kerja yang sudah ada, sekaligus membuka
ruang penciptaan lapangan kerja baru,” jelas Agus. Menurutnya, kebijakan fiskal
2026 harus mampu mempercepat pertumbuhan sektor otomotif sehingga kontribusinya
terhadap manufaktur dan ekonomi nasional semakin besar.
Industri otomotif memang merupakan
salah satu penopang utama industri pengolahan nonmigas. Investasi di sektor ini
telah menyentuh Rp174 triliun, dengan hampir 100 ribu tenaga kerja langsung di
pabrik kendaraan roda dua, roda tiga, hingga mobil penumpang.
Jika dihitung bersama seluruh rantai
nilai—mulai dari produsen komponen, logistik, diler, hingga bengkel resmi dan
nonresmi—jumlah pekerja yang menggantungkan hidup pada sektor otomotif mencapai
jutaan orang. “Gangguan sedikit saja di sektor ini akan memicu efek domino ke
banyak industri lain,” ujar Agus.
Perumusan insentif juga
mempertimbangkan transisi kebijakan menuju kendaraan rendah emisi dan
elektrifikasi. Sejumlah insentif seperti Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung
Pemerintah (PPN DTP) untuk kendaraan listrik berbasis baterai masih berlaku
hingga 2025. Di sisi lain, pemerintah juga sedang mengevaluasi mekanisme
insentif pembelian motor listrik agar lebih efektif dan tepat sasaran.
Kemenperin memastikan seluruh usulan
insentif 2026 akan disinergikan dengan agenda besar pengembangan ekosistem
kendaraan listrik nasional. Dialog intensif terus dilakukan bersama para pelaku
industri, GAIKINDO, serta kementerian terkait untuk memastikan kebijakan yang
dihasilkan tidak sekadar merespons situasi jangka pendek, tetapi memperkuat
struktur industri dalam jangka panjang.
“Tujuan akhirnya jelas: menjaga daya
saing, memperkuat rantai pasok, dan memastikan industri otomotif tetap menjadi
motor pertumbuhan ekonomi Indonesia,” pungkas Agus. (uyu)
Tulis Komentar