Kelebihan dan Kekurangan Sistem Proporsional Tertutup

$rows[judul] Keterangan Gambar : Suasana persidangan pembacaan amar putusan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sistem proposional terbuka, Kamis (15/6) di Ruang Sidang MK. (Humas MK)

JAKARTA, Konklusi.id- Menurut Hakim Konstitusi Suhartoyo saat memaparkan pertimbangan hukum mengenai sistem proporsional dengan daftar tertutup di persidangan amar putusan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sistem proposional terbuka, Kamis (15/6) di Ruang Sidang MK, sistem proporsional tertutup juga memiliki kelebihan dan kekurangan.

Beberapa kelebihan dari sistem proporsional dengan daftar tertutup, antara lain partai politik lebih mudah mengawasi anggotanya di lembaga perwakilan. Partai politik dapat dengan lebih mudah mengawasi dan mengontrol kegiatan serta sikap para anggotanya di lembaga perwakilan. Hal ini dapat memungkinkan partai politik untuk memastikan bahwa anggotanya bertindak sesuai dengan kehendak partai politik dan kepentingan kolektif yang mereka wakili.

Selanjutnya, sistem ini juga memungkinkan partai politik untuk dapat mendorong kader terbaik untuk menjadi anggota legislatif. Dalam sistem proporsional dengan daftar tertutup, partai politik memiliki kewenangan lebih besar dalam menentukan siapa yang menjadi calon anggota legislatif. Dengan adanya mekanisme seleksi yang ketat, hal ini dapat meningkatkan kualitas dan kompetensi para wakil rakyat yang terpilih.

Selanjutnya, sistem ini juga dapat mendorong partai politik untuk melakukan kaderisasi dan pendidikan politik. Selain itu, sistem ini juga berpotensi meminimalkan praktik politik uang dan kampanye hitam. Dengan mekanisme seleksi internal yang ketat, partai politik dapat memastikan bahwa calon yang diusung tidak terlalu tergantung pada dukungan finansial eksternal dan tidak terlibat dalam kampanye negatif yang merugikan demokrasi.

Di sisi lain, Suhartoyo melanjutkan, sistem proporsional dengan daftar tertutup juga memiliki beberapa kekurangan yang perlu diperhatikan, antara lain, pemilih memiliki ruang yang terbatas dalam menentukan calon anggota DPR/DPRD. Pemilih tidak memiliki kesempatan untuk secara langsung memilih calon yang mereka pilih.

Selanjutnya, sistem ini berpotensi terjadinya nepotisme politik pada internal partai politik. Partai politik lebih cenderung memilih atau mendukung calon dari keluarga atau lingkaran terdekat partai politik tanpa mempertimbangkan kualitas dan kompetensi calon secara objektif. Praktik nepotisme ini dapat merusak prinsip demokrasi dan dapat menurunkan kualitas anggota legislatif. 

Kekurangan lainnya, anggota DPR/DPRD memiliki kedekatan yang terbatas dengan rakyat, hal ini dapat mengurangi kedekatan antara anggota DPR/DPRD dengan konstituen mereka karena mereka tidak dipilih langsung oleh rakyat. Selain itu, potensi oligarki partai politik semakin menguat jika partai politik tidak memiliki sistem rekrutmen dan kandidasi yang transparan. Calon yang diusung atau dipilih oleh partai politik dapat terkonsentrasi pada kelompok-kelompok kepentingan yang ada di dalam partai tanpa memperhatikan aspirasi dan kepentingan masyarakat secara luas. 

Kekurangan transparansi dalam sistem rekrutmen dan kandidasi dapat membuka celah bagi praktik politik yang tidak sehat dan dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap partai politik dan proses politik secara umum. Menurutnya, kelebihan dan kekurangan sistem proporsional dengan daftar terbuka maupun proporsional dengan daftar tertutup adalah fakta yang tidak mungkin untuk dibantah.

Bahkan, kelebihan dan kekurangan tiap-tiap varian sistem pemilu dimaksud hampir selalu berkaitan erat dengan implikasi dan penerapannya dalam praktik penyelenggaraan pemilu. Artinya, apapun bentuk sistem yang dipilih, kelebihan dan kelemahan masing-masing akan selalu menyertainya.

Pendapat Berbeda

Putusan MK dalam perkara pengujian UU Pemilu ini tak lepas dari ikhtilaf. Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan ini. Arief mengatakan, diperlukan evaluasi, perbaikan dan perubahan pada sistem proporsional terbuka yang telah 4 (empat) kali diterapkan, yakni pada Pemilu 2004, 2009, 2014, dan 2019.

Peralihan sistem Pemilu dari sistem proporsional terbuka ke sistem proporsional terbuka terbatas diperlukan. Sebab, dari perspektif filosofis dan sosiologis, pelaksanaan sistem proporsional terbuka yang selama ini eksis ternyata didasarkan pada demokrasi yang rapuh. Karena para calon anggota legislatif bersaing tanpa etika, menghalalkan segala cara untuk dapat dipilih masyarakat, adanya potensi konflik yang tajam dalam masyarakat yang berbeda pilihan, terutama di antara masing-masing calon anggota legislatif dan tim suksesnya dalam satu partai yang sama atau konflik internal antar calon anggota legislatif dalam satu partai harus berakhir di Mahkamah Konstitusi karena tidak dapat diselesaikan oleh partainya. Persaingan pun amat liberal.

“Dalam rangka menjaga agar tahapan Pemilu tahun 2024 yang sudah dimulai tidak terganggu dan untuk menyiapkan instrumen serta perangkat regulasi yang memadai, maka pelaksanaan pemilu dengan sistem proporsional terbuka terbatas dilaksanakan pada Pemilu tahun 2029. “Saya berpendapat bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian oleh karenanya harus dikabulkan sebagian,” kata Arief menyampaikan pendapat berbeda dikutip dari laman resmi MK. (ara)


 


Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)