HARI Jumat 9 Zulhijah 1443 hijriah atau 8 Juli 2022 masehi, jemaah haji dari berbagai belahan dunia mengikrarkan diri dengan satu warna, warna putih dalam penghentian massal di padang luas nan kering dan panas.
Mereka khususnya jemaah laki-laki membalut tubuhnya hanya dengan dua helai kain, modelnya sederhana, karena tidak berjahit, tidak perlu dibuat oleh perancang ternama, karena Allah mau manusia saat itu memakai pakaian yang serupa, kain putih dua helai.
Cendekiawan Muslim Quraish Shihab menjelaskan bahwa praktik dalam berhaji terdiri dari beberapa rukun yang memerlukan gerak badan, seperti thawaf, sa'i, dan lainnya. Semua itu merupakan simbol-simbol yang mengandung pelajaran bagi jamaah haji dan puncak tujuannya adalah melakukan perjanjian dengan Allah.
"Haji ini adalah ibadah hati dan badan. Itulah sebabnya kata ulama, haji merupakan simbol-simbol yang lebih luas dan lebih dalam maknanya dari ucapan," kata penulis Tafsir Al Misbah dikutip dari situs NU Online.
Banyak ungkapan mengapa hanya mengenakan kain ihram nan putih khususnya saat wukuf. Arafah tidak hanya sekedar padang dan tempat jemaah haji menjalani ritual puncaknya berhaji (Haji itu Arafah), ada selaksa makna yang bisa dijelaskan dengan kata-kata dan metaphor, namun hanya manusia-manusia putih itu yang memiliki rahasianya, rahasia yang mereka buka blak-blakan dengan PenciptaNya saja, tidak dengan yang lain, bahkan dengan orang paling terdekatnya.
Quraish Shihab (2012), mengungkapkan Arafah antara lain bermakna mengenal atau mengakui, karena seharusnya di tempat inilah manusia mengenal jati diri dan menyadari kediriannya sebagai makhluk yang tidak bersih dari perilaku salah dan khilaf. Wukuf itu berhenti, lalu para manusia berbalut kain putih berupaya untuk lebih dekat, lebih intim dengan Penciptanya agar merasakan bahwa Dia itu sangat dekat, mendengar pengakuan terdalam hambaNya, bahwa ia pernah bersalah, pernah khilaf.
Inilah kesempatan terbaik membuat pengakuan, karena Allah mendengarkan, melihat yang terasing, yang terkecil dari diri seorang hamba saat menjalani kehidupannya. Wukuf bagi manusia-manusia berkain putih merupakan momentum pencapaian transendental ia dengan Tuhan.
Kain putih dua helai yang melilit tubuh jemaah saat wukuf dimaknai bukan semata karena ketentuan yang mengikat mutlak sejak haji pertama, tapi bagaimana kita menghayatinya sebagai fase kematian seorang manusia. Semakin menginternalisasikannya sebagai fase ini maka penghayatannya akan masa itu akan lebih mendalam. Masa yang bagai palung yang tak bisa diraba dan disentuh dasarnya, kapan tiba menjumpai.
Bahwa kelak yang melekat saat kematian nanti adalah dua helai putih nan sederhana, maka setiap manusia yang bertebaran di Arafah ini harus mengatakan kepada dirinya bahwa hanya inilah yang aku bawa, aku tinggalkan segala jerih yang telah dilakukan selama hidup, dan tidak bisa dititipkan kepada sanak saudara untuk nanti diambil dan dimiliki lagi.
Allah memberikan persamuhan ampunan bagi hamba di padang Arafah ini, membuat warna-warna pelangi hidup yang pernah dilalui sebelum berhenti di sini agar menjadi warna putih. Allah sangat dekat saat itu, sebagaimana kematian itu juga sangat dekat dengan hamba-hambanya.
Kain ihram menjadi metafor yang sangat dekat sisi lain manusia yang sejatinya memiliki sifat hanif, yakni senantiasa berkecenderungan pada kebaikan, kebajikan dan persamaan kemanusiaan yang hakiki, karena yang berbeda hanya ketaqwaannya. Wallaahu a’lam bis-shawab. (uyu)
Tulis Komentar