Tiga Polisi dan Tiga Panpel Bisa Jadi Tersangka Tragedi Kanjuruhan

$rows[judul] Keterangan Gambar : Kepolisian tengah melakukan investasi terkait tragedi di Kanjuruhan, Malang.

Jakarta, konklusi.id - Pemberi perintah penembakan gas air mata yang diduga memicu Tragedi Kanjuruhan masih misteri. Namun, sebenarnya untuk mengetahui siapa pemberi perintah itu dinilai mudah. Tinggal memeriksa pelaksana pengamanan dalam pertandingan tersebut. 

Pengamat Kepolisian Bambang Rukminto mengatakan bahwa mudah untuk mengetahui siapa pemberi perintah gas air mata. Dengan memeriksa para anggota yang menembakkan gas air mata. ”Tapi, kalau mau,” jelasnya.

Namun, posisi pemberi perintah di lapangan hanya pelaksana. Tidak terlalu penting dibanding pemegang otoritas keamanan. ”Entah diperintah atau karena respon pembelaan itu hanya problem di lapangan,” paparnya. 

Menurutnya, ada kesan bahwa yang dikorbankan dalam tragedi ini adalah level bawah. Namun, di level atas justru saling menutupi. ”Yang pasti jangan sampai tragedi ini tidak tuntas, karena apapun bisa terjadi kalau kasus ini tidak tuntas,” terangnya.

Yang pasti kalau serius harus didalami soal problem sistematisnya. Yakni, sistem manajemen pengamanan dalam pertandingan tersebut. ”Ini yang penting,” paparnya seperti dikutip dari Jawa Pos.

Sementara salah satu sumber yang enggan disebutkan namanya, mengungkapkan ada enam orang ditetapkan sebagai tersangka karena diduga terlibat dalam dugaan pelanggaran pidana dalam kasus tersebut. ”Tiga orang di antaranya diduga anggota kepolisian,” ujar petugas yang mengetahui kasus tersebut. Lalu, tiga orang lainnya merupakan sipil yang diduga menjadi panitia pelaksana laga tersebut. 

Namun, sumber tersebut tidak menyebut dengan jelas siapa dan peran mereka dalam kasus Tragedi Kanjuruhan. “Persiapan diumumkan di Malang,” jelasnya.

Sementara dikonfirmasi soal penetapan tersangka itu, Kadivhumas Polri Irjen Dedi Prasetyo belum merespon. Pesan singkat dan telepon belum dijawab. Yang pasti, mereka akan dijerat dengan pasal 359 KUHP dan 360 KUHP. Dalam kedua pasal tersebut disebutkan barang siapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain mati dan luka berat, diancam pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

Sementara Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri mengatakan, melihat Tragedi Kanjuruhan sebagai peristiwa yang terjadi akibat faktor majemuk. Saat ditinjau dari faktor kepolisian, maka yang dikhawatirkan adalah polisi bermetamorfosa menjadi organisasi militeristik. ”Pendekatan ala militer,” paparnya.

Karena itulah, diharapkan Presiden Jokowi mengeluarkan executive order khusus terkait persenjataan dan prosedur penanganan massa oleh Polri. Executive order itu untuk “memaksa” perilaku polisi untuk berubah. ”Dengan executive order ini waktu yang dibutuhkan relative singkat,” ujarnya.

Berbeda dengan perubahan midset dan kultural yang dicanangkan Kapolri. Karena kebijakan itu membutuhkan waktu panjang dan berliku. ”Perilaku dulu diubah, mindset dan culture menyusul berubah,” urainya.

Untuk itu executive order itu berisi pandua detil tentang daftar peralatan yang dilarang dan dikendalikan. Lalu, kebijakan untuk pelatihan penggunaan peralatan dan protokol penggunaannya. ”Juga pengawasan, kepatuhan dan implementasi,” tuturnya.

Namun, lanjutnya, pesimis bahwa Jokowi mengetahui executive order. Karena itulah Kapolri bisa mengambil langkah dengan mengeluarkan executive order. ”Ini langkah penting yang harus diambil,” paparnya.

Sementara itu ahli keselamatan kerja Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Universitas Indonesia prof Fatma Lestari mengatakan Tragedi Kanjuruhan harus diinvestigasi secara mendalam dan independen. Termasuk melibatkan ahli K3, ahli kedaruratan, perancang stadion, dan lainnya. 

Dia berharap tim TGIPF yang dibentuk pemerintah bisa berjalan dengan baik. Hasilnya kemudian dipelajari lalu disosialisasikan, supaya tidak terulang kejadian serupa di stadion lain.

Aspek krusial seperti sarana emergency menjadi faktor krisis apabila terjadi kerusuhan. Dia mengatakan pada umumnya kondisi kritis muncul karena multi faktor. Seperti tidak adanya induksi keselamatan, sistem dan prosedur penanganan darurat, serta sarana dan prasarana K3.

Ketua Departemen K3 UI Mila Tejamaya mengatakan pentingnya crowd safety management. Dalam pelaksanaannya dipetakan berbagai potensi bahaya dan resiko yang dapat menimbulkan bahaya dan kerugian. Potensi tersebut selain diidentifikasi juga dikendalikan dan dikomunikasikan. Termasuk kepada seluruh suporter dan petugas keamanan.

Sejumlah kondisi darurat dalam pertandingan sepak bola di antaranya adalah munculnya kondisi kekurangan oksigen. Kemudian terjadi sesak nafas, keracunan, dan lainnya. Kemudian terjadinya bangunan roboh, kekacauan atau anarkisme massa, hingga bencana alam.

’’Crowd safety management adalah bagian dari K3 dan harus menjadi perhatian pemerintah setempat dalam memberikan perizinan untuk suatu ecen,’’ kata Mila.

Sebelum pelaksanaan kegiatan, panitia atau penyelenggara event harus menyerahkan dokumen crowd safety management kepada pemerintah setempat. Setelah dilakukan penilaian dan analisis, izin baru bisa di keluarga. Dalam pelaksanaan pertandingan antara Arema dan Persebaya di Kanjuruhan, Malang pekan lalu, belum bisa dibuktikan apakah ada dokumen crowd safety management atau tidak.

Sementara itu koalisi masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan terus mengumpulkan data dan informasi terkait insiden Kanjuruhan. Sejauh ini, koalisi yang terdiri dari YLBHI, LBH Surabaya, LBH Surabaya Pos Malang, Imparsial dan beberapa lembaga masyarakat sipil tersebut telah mengantongi beberapa temuan yang menguatkan indikasi pelanggaran prosedur pengendalian huru-hara.

Salah satu temuan itu adalah dugaan tindakan represif aparat dan upaya menghalangi proses evakuasi korban. Informasi itu merupakan kesaksian dari salah satu suporter yang selamat dalam tragedi kelam pada 1 Oktober tersebut. ”Ada upaya menghalang-halangi korban yang mulai berjatuhan untuk mendekati ambulans,” kata saksi tersebut dalam konferensi pers virtual, kemarin.

Saksi tersebut menjelaskan jika korban yang dimaksud sangat membutuhkan pertolongan. Namun, oleh oknum aparat berseragam, yang ditengarai dari kesatuan Brimob Polri, itu justru dihalangi keluar stadion. ”Saya lihat itu (upaya menghalangi evakuasi, Red) terjadi dua kali. Pada saat yang ketiga, seorang suporter berusaha melawan aparat, tapi masih ditolak (dihalangi, Red).”

Selain upaya menghalangi evakuasi, Koordinator LBH Surabaya Pos Malang Daniel Alexander Siagian menyebut adanya perbedaan data jumlah korban tragedi Kanjuruhan. Menurutnya, perbedaan itu menunjukkan jika pihak berwenang tidak cermat dalam menyampaikan data terkait korban. ”Aremania menyebutkan 200 (korban jiwa) lebih, sementara dari kepolisian 127,” katanya.

Daniel menyebut disparitas data yang terjadi jelas akan berdampak pada pertanggungjawaban negara terhadap korban atau keluarga korban. Korban yang tidak terdata sangat mungkin tak mendapatkan kompensasi dari negara. ”Kita tahu ada korban yang meninggal dunia, korban luka-luka, maupun korban yang sedang dirawat jalan,” ungkapnya. (uyu) 

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)