Fenomena Quiet Quitting pada Generasi Y dan Z

$rows[judul] Keterangan Gambar : Siti Mahmudah

ISTILAH quiet quitting mulai ramai diperbincangkan di media sosial beberapa waktu terakhir ini. Pasalnya, fenomena quiet quitting dianggap melekat pada anak muda terutama generasi Y dan Z dalam dunia pekerjaan saat ini. Bagaimana sebenarnya quiet quitting, apakah dampaknya akan dijelaskan sebagai berikut. 

Melansir New York Times, dikatakan oleh Matt Spielman, seorang career coach di New York City dan penulis buku Inflection Points: How to Work and Live With Purpose, budaya kerja baru ini ada kaitannya dengan burnout di pekerjaan yang terjadi selama pandemi. Akibatnya, orang jadi ingin mundur sejenak, dan mengambil langkah yang lebih lambat. Menurutnya, ini adalah hal wajar. 

Namun Spielman merasa tindakan quiet quitting ini juga terkesan sebagai tindakan pasif agresif dari para karyawan sebagai cara untuk membalas perusahaan. Jika seorang karyawan merasa overload dan kelelahan, hal yang tepat untuk dilakukan adalah berbicara dengan atasan atau HRD dan mengutarakan keberatannya, dan mencari jalan keluar, ketimbang menjadi less engaged secara drastis karena merasa itu adalah haknya sebagai karyawan. 

Selain itu Jaya Dass, Managing Director Randstad untuk Singapura dan Malaysia, ini merupakan salah satu dampak dari Covid-19 dan Great Resignation akibat pandemi. Karyawan merasa berhak untuk mengendalikan pekerjaan dan kehidupan pribadi mereka. Bekerja dengan jam kerja, porsi dan tekanan yang normal kini nggak lagi sebatas harapan dari karyawan, melainkan tuntutan. 

Michael Timmes, seorang Senior HR Specialist menambahkan, bahwa ada perbedaan besar antara ingin meraih work life balance yang lebih baik dengan menjadi pekerja pasif. Sebetulnya, bisa banget bekerja secara optimal di jam kerja di kantor tanpa lembur dengan tetap terlibat dan memaksimalkan potensi. Sayangnya, mentalitas ini belum ada pada orang-orang yang melakukan tren quiet quitting ini. 

Beberapa Alasan Seseorang Melakukan Quiet Quitting: Merangkum dari beberapa sumber, ada beberapa alasan yang mendasari seseorang untuk melakukan quiet quitting, di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Tidak mendapat sesuatu yang diinginkan 

Biasanya seseorang yang melakukan quiet quitting kecewa karena pada tempatnya bekerja ia tidak mendapatkan sesuatu yang ia inginkan seperti kenaikan gaji atau promosi jabatan maupun kenyamanan lain sebagaimana harapannya. 

2. Kekurangan waktu untuk diri sendiri 

Seringnya bekerja hingga kelelahan menyebabkan seseorang melakukan quiet quitting karena ia menjadi tidak memiliki banyak waktu untuk kehidupan pribadinya (berharap adanya kesimbangan kehidupan antara pribadi dan pekerjaan). 

3. Beban pekerjaan yang melebihi 

Melakukan pekerjaan ganda dikarenakan memiliki skill lebih dibanding pegawai yang lain serta mampu manajeman waktu dan mengakomodasi harapan pimpinan sehingga sering dipercaya mengerjakan tugas lain selain tugas utamanya 

4. Teman dan Lingkungan kerja yang toxic 

Memiliki teman-teman kerja yang toxic tentunya membuat seseorang malas untuk menghabiskan waktu berlama-lama di tempat kerjanya. Sehingga lebih baik jika ia melakukan quiet quitting. 

 Namun demikian faktanya ada 3 dampak positif melakukan quiet quitting ini, diantaranya adalah sebagai berikut:. 

1. Tidak mengalami burnout  

Bekerja hingga kelelahan membuat seseorang mengalami burnout hingga bisa menyebabkan depresi hingga penyakit lainnya. Jika seseorang melakukan quiet quitting tentu saja ia bisa menghindari terjadinya burnout dalam bekerja. 

2. Pola hidup lebih sehat 

Terlalu lama di tempat kerja memacu seseorang untuk bekerja terus menerus hingga tidak memikirkan kesehatan. Jika bekerja seperlunya, maka pola hidup yang lebih sehat bisa lebih mudah diterapkan.   

3. Memiliki lebih banyak waktu 

Jika selalu pulang tepat waktu dan tidak membiasakan diri bekerja di luar job deskripsinya maka seseorang akan lebih mudah mendapatkan waktu yang lebih banyak untuk dirinya sendiri atau keluarganya. 

Walaupun memiliki dampak positif, quiet quitting juga bisa menimbulkan efek negatif karena dapat menjauhi diri seseorang dari pencapaian maksimal di tempat kerja. Seperti kenaikan jabatan atau gaji. Karena itu perlunya keseimbangan agar bisa mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan 

Para ahli sepakat, sikap quiet quitting ini bisa jadi backfire. Anggota tim lain akan menganggap pekerja nggak terlibat, dan bekerja seadanya, kemudian timbul konflik. Pekerja nggak lagi merasa bangga atas apa yang telah dilakukan, bahkan kehilangan gairah kerja. Pada akhirnya, orang yang akan berhasil tentunya orang yang menunjukkan etos kerja yang bagus dan mau bekerja extra miles, bukan yang bekerja seadanya. 

Melakukan quiet quitting boleh-boleh saja. Namun, setidaknya kerjakan tanggung jawab dan pekerjaan sebaik mungkin agar Anda memiliki rasa pencapaian terhadap diri sendiri. Untuk mencapai work-life balance yang baik, Anda bisa menerapkan beberapa tips berikut ini: 

Buat batasan yang jelas untuk waktu bekerja, beristirahat, dan bersosialisasi, termasuk dengan sanak keluarga. Tetap lakukan pekerjaan dengan sepenuh hati. Kelola stres dengan cara yang positif, misalnya dengan melakukan hobi atau aktivitas yang menyenangkan. 

Luang waktu untuk sekedar sharing session dengan rekan kerja yang memiliki pemahaman yang sama. Buat support system di lingkungan kerja yang bisa menguatkan saat terjadi toxic relationship. Terapkan pola hidup sehat, seperti mengonsumsi makanan bergizi seimbang, tidur yang cukup, dan rutin berolahraga. (uyu) 


Oleh: Siti Mahmudah Indah Kurniawati, S.Psi

Psikolog Founder Biro Psikologi Inka Alzena & ASN-BKD Kaltim

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)