JAKARTA, konklusi.id - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu)
meluncurkan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024.
Dalam IKP tersebut, Bawaslu melakukan pemetaan potensi kerawanan di 34 provinsi
dan 514 kabupaten/kota seluruh Indonesia. Anggota Bawaslu Lolly Suhenty
menuturkan ,IKP menjadi basis untuk program pencegahan dan pengawasan tahapan
pemilu dan pemilihan. Selain itu, IKP merupakan upaya Bawaslu dalam proyeksi
dan deteksi dini terhadap potensi pelanggaran.
“Kami
harap semua daerah tetap kondusif. Tidak terjadi hal-hal yang berpotensi
mengganggu atau menghambat proses pemilu yang demokratis,” ucapnya dalam
peluncuran IKP Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 di Jakarta, Jumat (16/12). Dalam
IKP tersebut terungkap beberapa kategori provinsi dengan rawan tinggi, sedang
dan rendah. Untuk kategori rawan tinggi, urutan pertama ditempati Jakarta
dengan skor 88,95, Sulawesi Utara (87,48), Maluku Utara (84,86) Jawa Barat
(77,04) dan Kalimantan Timur (77,04).
Untuk
kategori rawan sedang terdapat 21 provinsi. Di antaranya Banten (66,53) Lampung
(64,61), Riau (62,59), Papua (57,27) dan Nusa Tenggara Timur (56,75). Sebanyak
delapan provinsi masuk dalam kategori rendah, di antaranya Kalimantan Utara
(20,36), Kalimantan Tengah (18,77), Jawa Timur (14,74), Kalimantan Barat (12,69)
dan Jambi (12,03). Koordinator Divisi Pencegahan, Pengawasan, dan Partisipasi
masyarakat itu menambahkan, isu terkait netralitas penyelenggara pemilu menjadi
isu utama dari lima isu strategis yang terungkap dalam IKP 2024.
Lolly
menilai polemik netralitas menjadi pengalaman penting dalam menjaga kemandirian
dan profesionalitas dalam pelaksanaan tahapan pemilu ke depan. “Pelaksanaan
tahapan di provinsi baru juga menjadi perhatian penuh terhadap persiapan
pelaksanaan tahapan pemilu di Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan dan
Papua Barat Daya terutama pembentukan penyelenggara pemilu,” ungkapnya.Dikatakan
Lolly, potensi polarisasi masyarakat tidak boleh dilupakan. Dia berpesan isu
ini harus mendapat perhatian penuh untuk tetap menjaga stabilitas dan kondusivitas
dalam setiap tahapan pemilu. Lalu mitigasi dampak penggunaan media sosial,
serta melakukan antisipasi terhadap penggunaan media sosial dan media digital
dalam dinamika politik ke depan. “Terakhir, pemenuhan hak memilih dan dipilih.
Pemenuhan hak politik dan pelayanan penuh terhadap perempuan dan kelompok
rentan,” tuturnya. (ara)
Tulis Komentar