BBM dan Pentingnya Integrasi Data Terpadu

$rows[judul] Keterangan Gambar : Ekonom Celios Bhima Yudhistira

TERKAIT bahan bakar minyak (BBM), ada dua mekanisme yang perlu diperhatikan pemerintah. Pertama, terkait kenaikan harga. Kedua, mengenai pembatasan penggunaan.

Kalau mekanisme yang diambil adalah rencana kenaikan harga BBM, terutama jenis pertalite dan solar, yang naiknya rata-rata 30 persen, implikasinya cukup berisiko terhadap kenaikan inflasi dan penurunan daya beli. Pemerintah harus melakukan pencairan bantuan sosial (bansos) lebih cepat. Bukan saja kepada kelompok miskin, tapi juga menengah rentan sebelum adanya kenaikan harga BBM.

Masalahnya, saat ini antara wacana kenaikan harga BBM dan formulasi bansos yang dinaikkan Rp 24 triliun itu belum sebanding dengan waktu yang dibutuhkan. Jadi, seharusnya bansos cair dulu. Lalu, jeda satu sampai dua bulan untuk memperhitungkan kenaikan harga BBM. Juga mempertimbangkan kemampuan masyarakat menengah bawah yang upahnya hanya berkisar UMR (upah minimum regional). Mengingat, kenaikan UMR rata-rata nasional hanya 1 persen tahun ini.

Artinya, perlu banyak pertimbangan. Sebab, inflasi yang tinggi akan memicu tingkat suku bunga bank sentral yang lebih tinggi. Itu memberatkan seluruh kelompok masyarakat, juga dunia usaha.

Terkait selisih harga keekonomian dengan harga jual dalam negeri atau subsidi yang terlalu lebar, yang bisa dilakukan pemerintah seharusnya menggunakan mekanisme pembatasan. Perlu ada dukungan penuh terhadap langkah ini. Termasuk revisi Perpres Nomor 19 Tahun 2014.

Untuk pertalite, pembatasan yang harus dilakukan kali pertama adalah pencocokan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) Kementerian Sosial. Sebab, masyarakat kategori miskin yang menerima bansos juga berhak mendapatkan BBM subsidi. Kemudian, mencocokkan data pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang berhak mendapatkan BBM subsidi.

Dalam teknis penerapan di SPBU (stasiun pengisian bahan bakar umum), pembatasan bisa dilakukan dengan menggunakan scan biometrik atau sidik jari. Lalu, secara otomasi akan mencocokkan dengan NIK (nomor induk kependudukan).

Ketimbang menggunakan aplikasi My Pertamina yang khawatirnya justru akan mempersulit. Masyarakat yang berhak membeli BBM subsidi masih perlu smartphone dan beli paket data, itu memerlukan modal tidak kecil.

Sehingga pemerintah memiliki pekerjaan rumah untuk menyatukan berbagai data kependudukan, UMKM, dan data angkutan. Mengingat hingga saat ini sinkronisasi data belum 100 persen. Oleh karena itu, masyarakat masih harus daftar di My Pertamina. Artinya, Pertamina tidak punya data. Masih dalam upaya untuk meminta data dari masyarakat atau konsumen.

Ketika data sudah siap, baru menyiapkan strategi implementasi. Bisa biometrik, scan e-KTP, maupun entry by NIK. Dengan demikian, pembatasan penggunaan BBM subsidi berjalan.

Padahal, Kementerian Energi, Sumber Daya, dan Mineral bisa mengacu DTKS jika memang yang disasar masyarakat miskin. Dari sini terlihat masih ada ego sektoral. Jika tidak dipersiapkan dengan matang, justru pembatasan itu akan membuat antrean panjang di SPBU.

Terkait transparansi pada harga keekonomian, saya kira belum sepenuhnya dijabarkan. Masih harus lebih diperinci. Dana subsidi Rp 502,4 triliun itu dialokasikan untuk kompensasi ke Pertamina seberapa besar? Berapa jumlah untuk kompensasi pertalite, solar, dan LPG? Sedangkan PLN juga berapa? Itu tidak disebut nilainya dengan detail.

Yang memicu kebingungan itu, APBN sampai Juli surplus karena bonus harga komoditas. Tapi, ada tagihan untuk dana kompensasi yang belum dibayarkan sehingga memberatkan. Itu berapa? Saya belum lihat itu.

Di sisi lain, harus dikaji penyebab harga keekonomian pertalite dan solar setinggi itu. Bisa jadi hulu migas (minyak dan gas) harus dibenahi. Barangkali terlalu banyak impor BBM yang sudah jadi.

Mengingat, sejak 2012 neraca perdagangan migas kita sudah defisit. Pada 2021, neraca perdagangan migas minus USD 13,25 juta. Melonjak lebih dari dua kali lipat atau 120,68 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya USD 6,01 miliar. (uyu) 

*) Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)